Sunday, 1 December 2013

ROH DAN MANUSIA (Versi Malaysia)

Tentang bagaimana hubungan roh itu sendiri dengan nafs, para ulama berbeza pendapat mengenainya. Ibn Manzur mengutip pendapat Abu Bakar al-Anbari yang menyatakan bahawa bagi orang Arab, ruh dan nafs merupakan dua nama untuk satu perkara yang sama, yang satu dipandang mu'anath dan lainnya mudhakkar.


Makalah berikut ini berusaha menjelaskan beberapa pendapat 'ulama ternama Islam yang berusaha menjelaskan pengertian, kedudukan dan hubungan roh dengan nafs dalam diri manusia, berdasarkan urutan hidup mereka:


                                                 Ibnu Sina
     
                  Iman Ghazali
                                                  Ibn Tufail
    Ibn Taimiyah
           

                    Ibn Qayyim al-Jauziyah



Ibnu Sina (370-428 H/980-1037 M)

Ibnu Sina mendefinisikan roh sama dengan jiwa (nafs). Menurutnya, jiwa adalah kesempurnaan awal, kerana dengannya spesis (jin) menjadi sempurna sehingga menjadi manusia yang nyata. Jiwa (roh) merupakan kesempurnaan awal, dalam pengertian bahwa ia adalah prinsip pertama yang dengannya suatu spesis (jin) menjadi manusia yang bereksistensi secara nyata. Ertinya, jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh. Sebab, tubuh sendiri merupakan prasyarat bagi definisi jiwa, dengan ini ia dinamakan jiwa jika aktual di dalam tubuh dengan satu perilaku dari berbagai perilaku dengan mediasi alat-alat tertentu yang ada di dalamnya, iaitu berbagai anggota tubuh yang melaksanakan berbagai fungsi psikologi.

Ibnu Sina membahagi daya jiwa (roh) menjadi 3 bahagian yang saling berhubung, iaitu

1)Jiwa (roh) tumbuh-tumbuhan, daya-daya yang ada pada manusia, haiwan dan tumbuh-tumbuhan. Jiwa ini merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan mekanisme, baik dari aspek melahirkan, pertumbuhan dan makan.
2)Jiwa (roh) haiwan, mencakup semua daya yang ada pada manusia dan haiwan. Ia mendefinisikan roh ini sebagai sebuah kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanisme dari satu sisi, serta bergerak karaina keinginan sendiri.
3)Jiwa (roh) rasional, berkait daya-daya khusus pada manusia. Jiwa ini melaksanakan fungsi yang dituruti pada akal. Ibnu Sina mendefinisikannya sebagai kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanisme, dimana pada satu sisi ia melakukan berbagai perilaku eksistensial berdasarkan ikhtiar fikiran dan akal, namun pada dari segi  lain ia mempersepsikan semua persoalan yang bersifat universal.

Imam Ghazali (450-505 H/1058-1111 M)

Sebagaimana Ibn Sina, al-Ghazali membagi jiwa menjadi tiga golongan, iaitu:

Jiwa nabati (al-nafs al-nabatiyah), yaitu kesempurnaan awal baqgi benda alami yang hidup dari segi makan, minum, tumbuh dan berkembang.
Jiwa haiwan (al-nafs al-hayawaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi mengetahui perkara yang kecil dan bergerak mengikut kehendak.
Jiwa insan (al-nafs al-insaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda yang hidupdari segi melakukan perbuatan dengan potensi akal dan pikiran serta dari segi mengetahui hal-hal yang bersifat umum.

Jiwa insan inilah, menurut al-Ghazali di sebut sebagai roh (sebagian lain menyebutnya al-nafs al-natiqah/jiwa manusia). Ia sebelum masuk dan berhubungan dengan tubuh disebut roh, sedangkan setelah masuk ke dalam tubuh dinamakan nafs yang mempunyai daya (al-'aql), yaitu daya praktik yang berhubungan dengan badan daya teori yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahwa kalb, ruh dan al-nafs al mutmainnah merupakan nama-nama lain dari al-nafs al-natiqah yang bersifat hidup, aktif dan boleh mengetahui.

Roh menurut al-Ghazali terbagi kepada dua, pertama, di sebut roh haiwan, yakni jauhar yang halus yang terdapat pada rongga hati jasmani dan merupakan sumber kehidupan, perasaan, gerak, dan penglihatan yang dihubungkan dengan anggota tubuh seperti menghubungkan cahaya yang menerangi sebuah ruangan. Kedua, bererti nafs natiqah, yakni memungkinkan manusia mengetahui segala hakekat yang ada. Al-Ghazali berkesimpulan bahwa hubungan roh dengan jasad merupakan hubungan yang saling mempengaruhi.Di sini al-Ghazali mengemukakan hubungan dari segi maknawi kerana wujud hubungan itu tidak begitu jelas.Ajaran Islam tidak membahagi manusia dalam kenyataan hidupnya pada aspek jasad, akal atau roh, tetapi ia merupakan suatu kerangka yang saling berkait; itulah yanmg dinamakan manusia.

Ibn Tufail (Awal abad IV/580 H/ 1185 M)

Menurut Ibn Tufail, sesungguhnya jiwa yang ada pada manusia dan haiwan tergolong sebagai roh haiwan yang berpusat di jantung. Itulah faktor penyebab kehidupan haiwan dan manusia beserta seluruh perilakunya. Roh ini muncul melalui saraf dari jantung ke otak, dan dari otak ke seluruh anggota badan. Dan inilah yang yang menjadi dasar terwujudnya semua aksi anggota badan.

Ruh berjumlah satu. Jika ia bekerja dengan mata, maka perilakunya adalah melihat; jika ia bekerja dengan telinga maka perilakunya adalah mendengar; jika dengan hidung maka perilakunya adalah mencium dsb. Meskipun berbagai anggota badan manusia melakukan perilaku khusus yang berbeda dengan yang lain, tetapi semua perilaku berasal dari satu roh, dan itulah hakikat zat, dan semua anggota tubuh seperti seperangkat alat".

Ibn Taimiyah ( 661-728 H/1263-1328 M)

Ibn Taimiyah berpendapat bahawa nafs tidak tersusun dari substansi-substansi yang terpisah, bukan pula dari materi dan forma. Selain itu, nafs bukan bersifat fizik dan bukan pula sifat yang bergantung pada yang lain.Sesungguhnya nafs berdiri sendiri dan tetap ada setelah berpisah dari badan ketika kematian datang.

Ia menyatakan bahawa kata al-roh juga digunakan untuk pengertian jiwa (nafs). Roh yang mengatur badan yang ditinggalkan setelah kematian adalah roh yang dihembuskan ke dalamnya (badan) dan jiwalah yang meninggalkan badan melalui proses kematian. Roh yang dicabut pada saat kematian dan saat tidur disebut roh dan jiwa (nafs). Begitu pula yang diangkat ke langit disebut roh dan nafs. Ia disebut nafs karena sifatnya yang mengawal badan, dan disebut roh karena sifat lembutnya.Roh, sebutan dengan kelembutan, sehingga angin juga disebut roh.

Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa kata roh dan nafs mengandung banyak maksud, iaitu:

Roh adalah udara yang keluar masuk badan.
Roh adalah asap yang keluar dari dalam hati dan mengalir di darah.
Jiwa (nafs) adalah sesuatu itu sendiri, sebagaimana firman Allah SWT: ... Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang ... (QS. al-'An'am, 54).
Jiwa (nafs) adalah darah yang berada di dalam tubuh haiwan, sebagaimana ucapan ahli fiqih, "Haiwan yang memiliki darah yang mengalir dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir".
Jiwa (nafs) adalah sifat-sifat jiwa yang tercela atau jiwa yang mengikuti keinginannya.

Tentang tempat roh dan nafs di dalam tubuh, Ibn Taimiyah menjelaskan: "Tidak ada tempat khusus roh di dalam jasad, tetapi roh mengalir di dalam jasad sebagaimana kehidupan mengalir di dalam seluruh jasad. Sebab, Hidup kerana adanya roh. Jika roh ada di dalam jasad, maka di dalamnya ada kehidupan (nyawa); tetapi jika roh berpisah dengan jasad, maka ia berpisah dengan nyawa".

Ibn Taimiyah menyatakan bahawa jiwa (nafs/roh) manusia sesungguhnya berjumlah satu, sementara al-nafs al-ammarah bi al-su', jiwa yang memerintahkan pada keburukan akibat dikalahkan hawa nafsu sehingga melakukan perbuatan maksiat dan dosa, al-nafs al-lawwamah, jiwa yang berbelah bagi dalam melakukan dosa dan melakukan taubat, karena didalamnya terkandung kebaikan dan keburukan; tetapi jika ia melakukan keburukan, ia bertaubat dan kembali ke jalan yang benar. Dan dinamakan lawwamah (pencela) kerana ia mencela orang yang berbuat dosa, tapi ia sendiri ragu-ragu antara perbuatan baik dan buruk, dan al-nafs al-mutmainnah, jiwa yang mencintai dan menginginkan kebaikan dan kebajikan serta membenci kejahatan.

Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/1292-1350 M)

Ibn Qayyim al-Jauziyah Menggunakan istilah roh dan nafs untuk pengertian yang sama. Nafs (jiwa) adalah yang bersifat nurani 'alawi khafif hayy mutaharrik atau jisim yang mengeluarkan nur, berada di tempat yang tinggi, lembut, hidup dan bersifat dinamik. Jizm ini menembus substansi anggota tubuh dan mengalir bagaikan air atau minyak zaitun atau api di dalam kayu bakar. Selagi anggota badan dalam keadaan baik untuk menerima pengaruh yang melimpah di atasnya dari jism yang lembut ini, maka ia akan tetap membuat jaringan dengan bahagian-bahagian tubuh. Kemudian pengaruh ini akan memberinya manfaat berupa rasa, gerak dan keinginan.

Ibn Qayyim menjelaskan pendapat banyak orang bahwa manusia memiliki tiga jiwa, iaitu nafs mutmainnah, nafs lawwamah dan nafs amarah. Ada orang yang dikalahkan oleh nafs mutmainnah, dan ada yang dikalahkan oleh nafs amarah.

Mereka berpegang dengan firman Allah:

Wahai jiwa yang tenang (nafs mutmainnah) ...
(QS. Al-Fajr: 27).
Aku sungguh-sungguh bersumpah dengan hari kiamat dan aku benar-benar bersumpah dengan jiwa lawwamah
(QS. al-Qiyamah: 1-2)
Sesungguhnya jiwa itu benar-benar menyuruh kepada keburukan (nafs ammarah)
(QS. Yusuf: 53)

Ibn Qayyim menjelaskan bahwa sebenarnya jiwa manusia itu satu, tetapi memiliki tiga sifat dan dinamakan dengan sifat yang mendominasinya. Ada jiwa yang disebut mutmainnah (jiwa yang tenang) karena ketenangannya dalam beribadah, ber-mahabbah, ber-inabah, ber-tawakal, serta keridhaannya dan kedamaiannya kepada Allah. Ada jiwa yang bernama nafs lawwamah, karena tidak selalu berada pada satu keadaan dan ia selalu berbelah bagi atau dengan kata lain selalu ragu-ragu. Ada juga pendapat yang mengatakan bahawa nafs lawwamah dinamakan demikian karena orangnya sering melakukan keburukan. Sedangkan nafs ammarah adalah nafsu yang menyuruh kepada keburukan.

Jadi, jiwa manusia merupakan satu jiwa yang terdiri dari ammarah, lawwamah dan mutmainnah yang menjadi tujuan kesempurnaan dan kebaikan manusia. Sehingga ada kemiripan antara pendapat Ibn Qayyim dengan pendapat Ibn Taimiyah tentang tiga sifat jiwa ini.

Ibn Qayyim juga menjelaskan dan membagi menjadi tiga kelompok kaum filosof yang terpengaruh oleh ide-ide Plato. Ia menyebutkan tiga jenis cinta pada masing-masing kelompok tersebut, yaitu:

Jiwa langit yang luhur (nafs samawiyah 'alawiyah) dan cintanya tertuju pada ilmu pengetahuan, perolehan keutamaan dan kesempurnaan yang memungkinkan bagi manusia, dan usaha menjauhi kehinaan.
Jiwa buas yang penuh angkara murka (nafs sab'iyyah ghadabiyyah) dan cintanya kearah paksaan, tirani, keangkuhan di bumi, kesombongan, dan kepimpinan atas manusia dengan cara yang batil.
Jiwa binatang yang penuh syahwat (nafs hayawaniyyah shahwaniyyah) dan cintanya pada makanan, minuman dan seks.Dari konteks pembicaraan Ibn Qayyim ini, difahamkan bahawa ketiga jiwa ini bukan berdiri sendiri dan bukan pula bererti jiwa yang tiga, tetapi ia merupakan tiga daya untuk satu jiwa.

No comments:

Post a Comment

Lain-lain